Kamis, 15 Januari 2009

HIMAS: AKTIVIS ATAU SELEBRITIS (Memotret HIMAS Malang dari Jendela Kampus)


Oleh : Abdul Qodir Qudus

Kehidupan kampus yang penuh akan misteri, pertanyaan dan berbagai macam persoalan lainya mengundang berbagai macam opini publik, baik dari kalangan masyarakat pada umumnya maupun masyarakat kampus itu sendiri, mulai dari dosen, karyawan, birokrasi kampus sampai pada kalangan mahasiswa itu sendiri. Pertanyaan itu muncul karena fenomena yang menunjukkan bahwa sepak terjang, prilaku mahasiswa yang sudah mengalami dekadensi bahkan cenderung berubah. Memang benar, lain dulu lain sekarang, tapi apakah sekarang harus lebih jelek dari pada masa dahulu? Tentu saja tidak, kalau kita analisis, nilai-nilai yang terkandung dalam arti dan makna filosofis mahasiswa sendiri sedikit demi sedikit bergeser dari peredaranya, kalau dulu mahasiswa banyak disegani karena intelektualnya, keilmuanya, pergerakanya yang jelas dan riel aplikasinya di dalam memberi kontibusi kepada seluruh elemem masyarakat, baik masyarakat kampus pada khususnya maupun masyarakat non kampus, baik kontribusi itu berupa memperjuangkan hak-hak mahasiswa ketika dia duduk di birokrasi mahasiwa maupun karya-karya yang dihasilkanya, baik aktif di berbagai organisasi-organisasi masyarakat, birokrasi pemerintah, guru maupun terjun ke masyarakat langsung dengan cara berinteraksi langsung memberikan ilmu yang mereka miliki untuk bisa menjadi uswah hasanah disekitar masyarakat.
Berbagai permasalahan di atas, kalau kita analisis secara mendalam, bisa kita temukan pada saat-saat sekarang antara mahasiswa yang bener-bener aktivis dengan berbagai macam ciri khas, seperti intelektual, kritis, punya kedisiplinan yang tinggi, jiwa pemimpin yang tinggi, piawai dalam berdialektika, dan lain sebagainya itu berada di bawah rata-rata bahkan minim sekali kita temui sekarang dalam kehidupan kampus dari pada mahasiswa yang bergaya ala selebritis mulai dari cara gaya hidup, bersikap, berprilaku, bergaul sampai berparadigma yang kesemuanya menunjukkan kehidupan yang tidak selayaknya diterapkan di kampus.
Memang kehidupan kampus identik dengan kebebasan berekspresi, berkreasi, hanya saja banyak di kalangan mahasiawa yang salah mengartikan kebebasan itu bahkan keluar dari ari mahasiswa itu sendiri, contoh kongkrit sekarang para mahasiswa lebih suka menampakkan kelebihan yang bersifat fisik, mulai cara berpakaian, berdandan, style sampai pada gaya hidup yang berlebihan, mereka hanya mementingkan kenikmatan sesaat, mereka lebih senang dan PD sekali berpakaian minim menonjolkan, ataupun menampakkan sesuatu yang seharusnya tidak di tampakkan dari pada dengan berpakaian yang dapat menghargai dirinya secara haqiqi, mereka lebih suka mengumbar sahwat dari pada mengumbar rahmat sampai pada cara berfikir mereka yang sangat pakmatis, materialis. Dalam hal pergaulan, mereka lebih suka bergaul sama orang-orang yang seneng shoping, ngerumpi, nongkrong, jalan-jalan dari pada forum-forum diskusi ilmiah, seminar dan forum-forum dialog lainya. Memang banyak kita temukan halaqoh-halaqoh di sekitar kampus tapi kebanyakan halaqohnya adalah halaqoh mesrah dari pada halaqoh ilmiyyah.
Mereka tidak sadar berapa waktu yang dihabiskan, karena kesadaran nurani mereka sudah ditutupi oleh sejumlah janji-janji kenikmatan sesaat yang lebih banyak mempengaruhi jiwa mereka, makanya mereka lebih suka berfikir yang verbal-verbal saja bahkan males untuk cenderung berfikir mendalam, jauh ke depan yang berguna bagi dirinya di kemudian hari, sehingga kekritisan, kepekaan maupun ketajaman mereka hilang begitu saja tanpa mereka sadari bahwa itu akan berakibat tidak baik bagi dirinya.
Kehidupan yang semacam itu akan menimbulkan banyak kemadlorotan, di samping sudah menyalahi arti mahasiswa itu sendiri, kita tahu, banyak kejadian-kejadian seputar mahasiswa yang banyak tersekspose dalam masalah kriminal, seperti halnya beberapa kasus mahasiswa yang kena razia narkoba, seks, dan lain sebagaianya.
Pertanyaanya, mengapa mahasiswa lebih suka berprilaku seperti layaknya selebritis yang lebih suka menikmati keindahan dunia di atas segala-galanya, tidak peduli itu larangan atau bukan, yang penting dia bisa senang, dugem setiap harinya, ngefly dan lain sebagainya, apakah mahasiswa harus seperti itu? Kalau memang iya, hancurlah bangsa Indonesia, karena budaya seperti itu lebih mudah dicerna dari pada budaya-budaya seorang ilmuan yang gemar akan membaca, menulis menganalisa sampai pada berusaha memunculkan penemuan-penemuan baru.
Sebagai ibarat teman-teman kita yang mau diwisuda sekarang, kita prihatin kepada mereka, walaupun toh hasil ujian mereka cumlaud, tapi kalau tidak diimbangi dengan kualitas yang mapan, keterampilan yang memadahi karena nilai itu tidak bisa dibuat standarisasi jaminan kesuksesan seseorang - karena disana juga ada factor-faktor keberuntungan - maka akan menemui segudang permasalahan maupun kendala-kendala yang akan dihadapi di kemudian hari. Karena dia akan menanggung beban mental, moral dan skis yang berat, belum lagi gelar yang mereka gondol tidak sesuai dengan kemampuan mereka dan baru saat-saat itulah dia akan merasakanya sampai pada menyesalinya, jawabnya, ya terlambas tho mas? Itu semua karena tidak disiapkan jauh-jauh hari
Dari paparan di atas, bisa di ambil hikmah alangkah baiknya kehidupan mahasiswa sekarang kembali ketujuan awal jadi seorang mahasiswa, mahasiswa dengan arti yang sebenarnya tidak keluar dari mainstream, walaupun ada yang tidak sesuai tapi bukan sebagian besar bahkan minim sekali, semoga tuhan selalu memberi petunjuk kepada kita semua dalam mengarungi samudara kehidupan. amien, wassalam.

Comments :

0 komentar to “HIMAS: AKTIVIS ATAU SELEBRITIS (Memotret HIMAS Malang dari Jendela Kampus)”