Minggu, 29 Maret 2009

TERJEBAK POLITIK TOKOHISME

Oleh: Abdul Qodir Qudus

Bicara politik persepsi orang memang berbeda-beda, politik yang cendrung pada hal-hal yang berbau negative membuat orang awam lesu dan pilu kalau mereka harus berdebat masalah politik.
Politik bagi mereka adalah milik orang besar (seperti Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, DPR, dan Parpol), itu adalah persepsi salah mengartikan “politik” dengan penafsiran kerdil. Mereka tidak sadar ternyata bahwa mereka juga bermain politik dalam berdagang, transaksi, bekerja, berbicara dan bertindak, lagi-lagi mereka tidak sadar ternyata ulama (kyai, ustadz) yang mereka tokohkan juga berpolitik.

Politik Tokohisme
Ulama (kyai dan ustadz) yang berpolitik cendrung memberikan nuansa yang berbeda dengan elit politik (politik praktis) yang ditandai dengan atribut-atribut parpol, tetapi ulama yang berpolitik cendrung kepada menjaga kharismatiknya sebagai panutan ummat. Kendatipun kemudian ternyata mereka (ulama. red) berpolitik praktis tanpa kita tahu apa dan bagaimana cara mereka berpolitik. Sepintas kita menyadari dan menyimak disaat menjelang pemilihan umum baik itu pemilu kades sampai pada pemilu capres, banyak kita lihat manten-maten pemilu datang (soan) ke pesantren (kyai) dengan jargon minta do’a restu bahkan diberikan amalan-amalan kemenangan. Seperti itukah politik ulama? tulisannya belum tuntas.
Sejak reformasi bergulir dan arusnya begitu deras menembus seluruh lekuk-lekuk kehidupan masyarakat, banyak dijumpai kyai yang berperan dan aktif di dunia politik. Di beberapa daerah malah banyak yang menjadi kepala daerah, bupati atau walikota. Bisa dihitung pula berapa banyak kyai yang menduduki kursi wakil rakyat mulai dari DPRD kabupaten sampai DPR RI. Para kyai juga banyak yang masuk dalam jajaran kepengurusan partai politik atau menjadi penasehatnya. Ini realita bukan hal yang dibuat-buat, yang seharusnya mereka (ulama. red) duduk manis di pesantren, memberikan pengajian, pengayom umat, suri tauladan (pewaris ambiya’), ternyata malah terjun ke dunia politik praktis.
Dr. Miftah Farid mengatakan bahwa pemaknaan kyai sudah bergeser dari ulama menjadi cendikia. Pemaknaan ulama cendrung kepada figure, sosok yang kharismatik, yang disegani, tapi tatkala pemakmanaan itu bergeser menjadi cendikia, maka kharismati itu pun akan ikut tenggelam (hanyut terbawa arus entah kemana), lagi-lagi ummat di buat bingung kalau para cendikia (ulama.red) itu ternyata terjebak dalam kasus korupsi dan sebagainya, lagi-lagi masyarakat jadi korban.
Melirik kasus diatas kemudian teringat pada sejarah Nabi Musa as, yang meninggalkan kaumnya untuk bertahannus di gunung tsur, yang kemudian kaum itu dititipkan kepada saudaranya Nabi Harun as. Apa yang terjadi setelah Nabi Musa pulang dari jabal tsur semua ummatnya berpindah keyakinan, dari tauhid (mengesakan Allah) menjadi taeheng (menyembah pohon dan batu), kenapa hal itu terjadi karena tidak ada lagi panutan (qudwah).
Sepintas kita putar haluan melihat suasana politik kepulauan Sapeken yang cendrung memanas, kenapa tidak karena sosok ketokohan seorang ulama (tokoh PKS 2004) yang menjadi sentral tausiah masyarakat Sapeken, saatnya harus berfikir keras untuk memenangkan, tatkala putra suluangnya mencalonkan diri dari Partai Bulan Bintang (Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra), dan sementara tokoh cendikia muda Abu Hurairah (Noerasul) dari Partai Keadilan Sejahtera (Ir. Tifatul Sembiring), akhirnya umat jadi bingung, bingung harus pilih siapa? bingung karena siapa? kesimpulannya jangan buat ummat jadi bingung!

Terjebak Karena Tokoh
Sebagai penutup dalam tulisan ini pantas tentunya kalau saya mengilustrasikan politik tokohisme itu pada “terjebak karena tokoh”. Kata itulah yang up tudate diberikan kepada ummat yang merasa bingung harus memilih siapa pada pemilu legislatif 9 April mendatang. Wallahu a’lam bi al-showab.

Comments :

0 komentar to “TERJEBAK POLITIK TOKOHISME”