Senin, 19 Januari 2009

DISKURSUS GENDER PERSPEKTIF ISLAM: Upaya Rekonstruksi Metodologis

Oleh: Dr. Umi Sumbulah, MAg

A. Pendahuluan
Kehadiran Islam di tengah Arab bak air hujan di tengah kegersangan tanah yang tandus. Islam yang hadir di tengah budaya patriarkhi yang menindas perempuan, seolah membalik sejarah Arab, yang tidak menghargai perempuan. Sejumlah praktik kehidupan sosial seperti perbudakan, poligami, dan penguburan anak-anak perempuan merupakan eksemplar dari berbagai praktik opresif terhadap perempuan. Karena itu, sejak awal kehadirannya Islam ditargetkan sebagai agama pembebasan, terutama pembebasan terhadap perempuan.
Masyarakat yang pada awalnya tidak mengenal saksi perempuan, diperkenalkan oleh Islam dengan eksistensi perempuan sebagai saksi, meski dengan "harga" yang tidak sama. Masyarakat yang pada awalnya tidak memberikan warisan kepada perempuan, bahkan memposisikan perempuan sebagai harta warisan (tirkah), diperkenalkan sistem pembagian warisan terhadap perempuan kendati dengan batas 1: 2 untuk anak laki-laki. Masyarakat yang pada awalnya sangat misoginis dan dikenal sering membunuh anak perempuan (dafn al-banat), diperintahkan agar melakukan ‘aqiqah (syukuran kebahagiaan) atas kelahiran anak perempuan, jenis kelamin yang selama ini dianggap aib keluarga dan beban kabilah karena tidak produktif. Bahkan diperkenalkan juga denda (diyat) bagi perempuan yang mati terbunuh --tidak dikubur hidup-hidup sebagaimana tradisi Arab Jahili, meskipun terbatas pada separoh dari diyat yang diperoleh laki-laki yang terbunuh.
Sebagai agama yang memiliki misi pembebasan, Islam memperkenalkan dirinya kepada manusia dengan citra yang demikian positif. Karena itu, prinsip-prinsip universal yang mengangat derajat perempuan senantiasa mewarnai risalah profetik Muhammad SAW tersebut, yang tidak saja dalam bentuk teks-teks al-Qur'an namun juga dalam bentuk pribadi dan teladannya. Namun demikian, persoalan muncul ketika ada semacam kesan paradoks antara prinsip-prinsip universal kesetaraan perempuan dengan mahluk laki-laki itu dengan sejumlah teks al-Qur'an yang bersifat derivatif sebagai alat untuk melegitimasi posisi subordinate bagi perempuan. Seringkali prinsip egalitarianisme yang senantiasa disuarakan oleh Muhammad sejak masa awal misinya, direduksi keagungannya oleh kedzannian teks-teks keagamaan, yang keberlakuannya sesungguhnya bersifat kontekstual.
Karena itu pula, pembacaan secara komprehensif terhadap teks-teks keagamaan dalam upaya menegakkan egalitarianisme ini, perlu ada upya rekonstruksi metodologis yang komperehensif, sehingga kesan adanya paradoks antara satu teks dengan teks yang lain dapat dinafikan. Penulis meyakini bahwa sumber yang sama tidak mungkin memfatwakan dua hal yang secara substantif sangat bertentangan. Untuk itu, menggunakan kerangka metodologis ilmu-ilmu keislaman yang selama ini telah digunakan oleh para ulama, baik mufassirin, muhadditsin maupun ushuliyin dan fuqaha' tetap penting dilakukan. Namun demikian, peminjaman kerangka metodologis dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora juga tidak kalah penting untuk dipilih. Hal ini karena, isu gender sesungguhnya tidak hanya terbatas pada persoalan normativitas keagamaan, namun lebih kepada aspek historisitasnya, yang justru banyak bersentuhan dengan aspek-aspek konteks yang melingkungi kehidupan, sehingga meminjam kerangka ilmu-ilmu sosial juga menjadi niscaya dilaksanakan.
Dalam konteks rekonstruksi metodologis tentang gender tersebut, digunakan upaya dekonstruksi dengan melihat terlebih dahulu teks sebagai representasi, serta memahami keterkaitan antara pengetahuan dengan kekuasaan. Di samping itu juga dicoba dikembangkan pendekatan hermeneutika, dengan harapan dapat memahami diskursus gender perspektif Islam secara proporsional, dan sama sekali tidak berpretensi untuk menghakimi tafsiran para ulama yang tersebar dalam berbagai karya literatur klasik yang diwarisi umat Islam hingga kini.

B. Perempuan dan Dominasi Patriarkhi: Meletakkan perempuan di "Dunia" Laki-laki
Setting sosio kultural dan politik sejak era Hamurabi (18 abad SM) dan Asiria (abad ke-10 SM), merupakan entitas dan faktor penting yang memperburuk citra perempuan di wilayah Timur tengah, kawasan yang melahirkan para pemegang otoritas keagamaan era klasik dan era pertengahan, baik mufassirun, muhadditsun, ushuliyun maupun fuqaha'. Pembedaan peran laki-laki dan perempuan telah dikenal jauh sebelum kehadiran Islam awal di tanah Arab: pertama, telah terjadi maskulinisasi epistemologi yang dipengaruhi oleh kosmologi, mitologi dan peradaban kuno yang cenderung misoginis, seperti kosmologi Mesir kuno di selatan, mitologi Yunani kuno di barat, dan peradaban Sasania-Zoroaster di timur, tepatnya di Ktesipon, Mesopotamia, yang membuat citra perempuan di kawasan ini demikian negatif. Ditemukannya mummi perempuan di Mesir yang menggunakan celana dalam besi yang digembok dan bersepatu besi berat dan berukuran kecil untuk membatasi perjalanan perempuan, Mitologi Yunani yang menggambarkan perempuan sebagai iblis betina (female demon) pengumbar nafsu, Peradaban Sasania-Zoroaster yang menyembunyikan perempuan haidh di goa-goa gelap, merupakan sekian bukti yang secara "tumpang tindih" semakin menjepit posisi perempuan.

Sebagai negara kontinental yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan, Arab mengalami persentuhah-persentuhan dengan tradisi yang berkembang di kawasan yang melingkupinya. Sejarah klasik Mesopotamia yang menjadi titik tolak peradaban umat manusia --setelah munculnya tokoh Hammurabi yang membuat aturan hukum berupa Kode Hammurabi disusul penguasa berikutnya yang membuat Kode Asiria-- terekam dalam kitab-kitab klasik, yang berpengaruh besar pada kepustakaan tafsir, seperti al-Thabari, Ibn Katsir dan al-Qurtubi.

Keterpautan teologis antara Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya, banyaknya tokoh Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam dan membawa serta sejumlah tradisi mereka, adanya persentuhan orang-orang Arab dengan orang-orang Yahudi di kantong-kantong mereka jauh sebelum Islam datang, penaklukan wilayah-wilayah yang menjadi basis Yahudi di awal-awal perkembangan Islam, serta adanya isyarat yang demikian jelas dari Rasulullah kepada umat Islam agar melakukan reservasi-reservasi terhadap ideologi Yahudi dan Nasrani, turut menjadi penyumbang besar bagi masuknya kisah-kisah Israiliyat dalam kepustakaan tafsir maupun hadits yang dilahirkan di era itu, dan bahkan disosialisasikan hingga kini sebagai grand narrative yang telah menjadi "iman sosial" sejumlah umat Islam, yang diterimanya secara taken for granted.

Kedua, perebutan sumber air, lahan ternak bahkan perempuan sering menjadi pemicu terjadinya perang antar kabilah (tribalism). Dalam kondisi seperti ini, perempuan dianggap dan diperlakukan sebagai harta. Karenanya, peristiwa dan tradisi penguburan anak perempuan (dafn al-banat) dilakukan. Menurut Reuben Levy, praktik ini dimotivasi oleh tiga hal: 1) kekhawatiran akan kemiskinan, yang dalam hal ini perempuan menjadi alternatif utama untuk dikorbankan mengingat posisinya dalam kabilah sebagai mahluk yang tidak produktif; 2) sebagai persembahan kepada dan atas nama Tuhan; 3) demi mempertahankan status sosial dan mencegah terjadinya aib dalam keluarga dan kabilah.

Berbeda dengan perempuan pra Islam, Rasulullah adalah seorang revolusioner yang membawa perubahan besar khususnya bagi kehidupan perempuan. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai mahluk nomor dua (the second class), tetapi sama derajat dan eksistensinya dengan laki-laki. Hal ini terbukti dengan dekonstruksi yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap cara pandang bangsa Arab yang menganggap rendah kaum perempuan. Ketika kelahiran putrinya, Fatimah, Rasulullah membawa berlari-lari mengelilingi Ka'bah sebagai tanda syukur atas dikaruniakan kepadanya seorang bayi perempuan, suatu kondisi yang berbanding terbalik dengan budaya dan mitologi bangsa Arab era itu, yang memandang begitu rendah anak-anak perempuan. Kepedulian dan pembelaan terhadap perempuan terus dilakukan dalam keteladanan beliau. Rasulullah mengajarkan keutamaan shalat berjamaah bagi perempuan, hadis-hadis tentang para perempuan yang keluar masuk masjid untuk beribadah, bahkan khutbah beliau di hari raya yang sebagian juga ditujukan untuk kaum perempuan dalam rangka mengumpulkan derma bagi keperluan perang, satu pekerjaan publik yang di dalamnya melibatkan perempuan.

Di era rasulullah, banyak sekali kaum perempuan yang menjadi sahabat yang mentransformasikan ilmu pengetahuan. Ruth Roded menyebutkan ada sekitar 1200 perempuan pernah terlibat dalam kelompok studi (halaqah 'ilmiyah) bersama Nabi. Sejumlah transmiter hadis adalah para perempuan. Dalam konteks ini dapat disebut misalnya al-Marwaziyah yang menjadi perawi hadis yang terdapat dalam al-Jami' al-Shahih karya al-Bukhari, juga Syuhdah bint al-'Ibari, seorang sarjana hadis yang mencapai reputasi sebagai "perempuan kebanggaan". Di samping itu, pada abad ke-2 muncul tokoh sufi sekaliber Rabi'ah al-Adawiyah, yang di samping sufi juga disebut-sebut merupakan tokoh oposisi bagi pemerintahan Harun al-Rasyid, serta sejumlah barisan sufi perempuan lainnya.

Namun agak disayangkan bahwa kenyataan ini tidak berlangsung lama karena banyak faktor: pertama, secara politis, semakin berkembangnya dunia Islam hingga ke pusat-pusat kerajaan yang bercorak misoginis seperti Damaskus, Bagdad dan Persia; kedua, upaya unifikasi dan kodifikasi kepustakaan tafsir, hadis, dan fikih, yang banyak dikonstruksi oleh budaya lokal, secara langsung maupun tidak langsung mempunyai andil dalam membatasi ruang gerak perempuan. Sejumlah aturan tentang kehidupan perempuan kemudian dikonstruksi sesuai dengan budaya lokal yang berkembang mengitarinya; ketiga, pada saat yang sama, secara simultan berlangsung politik antropologi untuk melanggengkan budaya patriakhi yang memberikan privelege demikian banyak kepada kaum laki-laki. Sebagai akibatnya, kehidupan perempuan semakin terpuruk, sehingga kiprahnya di dunia publik semakin termarginalisasikan; keempat, teladan rasulullah ini pada masa sesudahnya justru tidak banyak diikuti oleh para pengganti beliau.

Berdasarkan data sejarah di atas, demikian banyak reduksi-reduksi lokal terhadap prinsip penghargaan terhadap perempuan yang telah dicontohkan oleh rasulullah, namun secara praktis tidak banyak diikuti oleh para pengganti beliau, terlebih setelah masa khalifah rasyidah berakhir, di mana sistem pemerintahan tidak lagi menjunjung tinggi demokratisasi, namun mengadopsi sistem kerajaan monarchi, baik dari pengaruh Persia (wilayah yang sejak lama mengurung perempuan di rumah) maupun Romawi Byzantium, satu kawasan yang sejak era kuno telah memposisikan perempuan pada tempat yang hina. Karena itu, tradisi dan ideologi kuno yang telah "memasung" perempuan, menemukan momentumnya kembali ketika sistem pemerintahan Islam tidak lagi menganut prinsip demokrasi yang pernah dipraktikkan oleh rasulullah dan khalifah rasyidah.

C. Memahami Islam: antara Normativitas dan Historisitas
Agama merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, karena ia terdiri dari aspek normatif dan historis. Teks-teks keagamaan merupakan aspek normativitas agama, sedangkan interpretasi dan implementasi teks-teks tersebut merupakan dimensi historisitasnya. Memisahkan secara rigid keduanya, tampak mustahil dilakukan. Ibarat secangkir kopi, maka tidak mungkin dipisahkan antara air, kopi dan gulanya, karena semua unsur menyatu dalam secangkir kopi tersebut.

Persoalan gender juga menyentuh dua aspek tersebut. Secara normatif terdapat sejumlah teks yang mengatur eksistensi, fungsi dan relasi laki-laki dan perempuan, baik pada ranah domestik maupun publik. Secara historis, teks-teks tersebut dipahami, diinterpretasikan dan dipraktikkan dalam ragam kehidupan, dengan setting sosio-kultural yang tidak monolitik. Dari sisi normatif boleh jadi ketentuan yang digunakan sama, namun dalam tataran interpretasi dan praktik keagamaan yang melibatkan manusia sebagai mahluk historis sangat mungkin berbeda. Konsepsi gender yang dipahami secara berbeda di Indonesia sebagai negara muslim dengan di negara-negara di kawasan timur tengah yang mayoritas adalah negara Islam misalnya, merupakan eksemplarnya. Kendati keduanya menggunakan ayat yang sama, bisa saja konsepsi gender yang diadopasi dan dipraktikkan berbeda. Demikian juga konstruksi gender yang dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat muslim Jawa, tentu memiliki perbedaan dengan konsepsi gender yang dipahami dan dikonstruksi oleh masyarakat muslim Aceh. Hal ini juga dipengaruhi oleh ragam ideologi dan setting sosio kultural yang menopang kehidupan dua masyarakat yang berbeda tersebut.

Perbedaan aspek normativitas dan aspek historisitas dimaksud, ditentukan oleh banyak hal, baik terkait dengan stock of knowledge yang dimiliki sang pemegang otoritas keagamaan (baca: mufassir), ideologi yang diyakininya, metode interpretasi yang dipilihnya, situasi dan kondisi yang melingkupinya, hingga setting sosio-kultural bahkan politik yang ada. Karena itu, perlu ditekankan sekali lagi, bahwa mencoba membedakan dan memisahkan Islam dari dua aspeknya ini (normatif dan historis) merupakan sebuah kemustahilan, karena keduanya menyatu dalam esensi dan kohesinya. Keduanya kemudian berjalan mewarnai dan mengiringi tarikan sejarah kemanusiaan itu sendiri. Karena itu pula produk tafsir era klasik misalnya, senantiasa mencerminkan ideologi dan setting sosio-kultural mereka. Interpretasi mereka terhadap persoalan gender misalnya, mencerminkan bahwa ideologi patriarkhi yang telah jauh menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah kemanusiaan, menjadi "kubang" yang tak terhindarkan oleh mereka. Demikian pula dominasi metodologi tafsir tahlili yang dipilihnya, tidak sedikit telah menyumbangkan "ketidakadilan" dan menjadi legitimasi tersendiri bagi pemosisian perempuan yang demikian marginal, peripheral dan bahkan subordinate. Karena itu pula, senantiasa ada pergulatan antara aspek normativitas agama di satu sisi dengan aspek historisitas di sisi lain, dua entitas yang berbeda namun tidak bisa "bekerja" dan bahkan bisa dinyatakan nyaris tidak bisa "berfungsi" tanpa peran yang lain.

Terdapat hubungan dialogis, dialektis dan kritis antara dataran normativitas nilai-nilai al-Qur'an yang sesungguhnya bersifat universal, transendental dan transkultural di satu sisi, dengan historisitas nilai-nilai keberagamaan umat Islam yang sesungguhnya bersifat partikular, kultural dan sosiologis. Jika terjadi hal-hal yang kontradiktif antara keduanya, maka nilai-nilai universal al-Qur'an tersebut dapat berperan penting dalam upaya mengoreksi, mengkritik sekaligus menjadi bahan untuk menafsirkan ulang bagaimana seharusnya praktik keberagamaan yang bersifat historis tersebut dibenahi dan diperbaiki. Sehingga dengan demikian tidak ada kesenjangan dan ketimpangan antara entitas dan nilai moral yang ideal dengan yang realita. Persoalan gender tampaknya banyak diwarnai oleh "ketidaksejalanan" (untuk tidak mengatakan penyimpangan atau defiasi) antara aspek normativitas tersebut dengan dataran historisitasnya.

Tidak hanya dalam soal pergulatan antara yang normatif dan historis, dalam konteks normativitas Islam juga terdapat tarik menarik antara teks-teks yang bersifat qath'i dan yang bersifat dzanni. Sejumlah umat Islam sering memposisikan sifat teks tersebut secara tidak proporsional. Bahkan ada yang mencampurkan keduanya dalam upaya membuktikan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan.Teks-teks terkait dengan persoalan kesaksian, kewarisan dan reproduksi perempuan yang oleh sekelompok ulama dinilai bersifat dzanni, dijadikan sebagai "jurus" oleh kelompok umat Islam tertentu untuk memposisikan perempuan di bawah laki-laki. Kajian terhadap konteks turunnya ayat yang terkait dengan persoalan tersebut, sama sekali tidak dilihat sebagai satu kesatuan sistemik yang harus dijadikan sebagai modal interpretasi terhadap teks-teks dimaksud. Dalam konteks inilah tampaknya penggunaan kaidah al-'ibrah bi 'umum al-lafdz la bikhusush al-sabab masih terlalu dominan daripada kaidah sebaliknya, al-'ibrah bi khusush al-sabab la bi 'umum al-lafdz.

D. Beberapa hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam

1. Hal-hal yang menguatkan
Al-Qur’an memberikan beberapa isyarat jelas tentang prinsip dasar kemanusiaan, yakni: kesetaraan, keadilan, persamaan, tasamuh, keseimbangan, demokrasi, musyawarah dan penegakan HAM (al-dahruriyahal-khamsah). Penghargaan terhadap perempuan tersebut, dapat dilihat pada berbagai aspek:
a. Hak-hak dalam rumah tangga :(QS.2: 187) laki-laki dan perempuan sebagai libas
b. Hak-hak reproduksi perempuan (nikah, mahar, memilih pasangan, memperoleh nafkah, jaminan kesehatan reproduksi, mu’asyarah bil ma’ruf, menentukan kehamilan, merawat anak, perceraian dll).
c. Hak-hak beraktivitas pada domain publik (QS. al-Ahzab:33)
d. Hak-hak dalam hukum (QS. 2: 282 tentang kesaksian perempuan)
e. Hak-hak politik (QS. Al-Naml: 32-35 tentang peran politik ratu Saba’)
f. Hak mendapatkan penghargaan yang setara di hadapan Tuhan (QS.al-Hujurat:13)
g. Hak mendapatkan ganjaran dan apresiasi yang setara di hadapan Tuhan (QS. Ali Imran:195).

2. Hal-hal yang melemahkan
Terdapat sejumlah teks keagamaan, baik al-Qur'an, Hadits maupun Fiqih tentang hal-hal yang mengusung ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan serta mengisyaratkan adanya superioritas laki-laki atas perempuan.

Teks al-Qur'an yang mengisyaratkan demikian, atau paling tidak, banyak dijadikan legitimasi untuk mensubordinasikan perempuan, antara lain: termuat dalam QS. al-Nisa:1 tentang penciptaan perempuan dan QS.al-Nisa:34 tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan, kewarisan laki-laki dan perempuan, persaksian perempuan serta hak-hak reproduksi perempuan (QS 2: 233) dan sebagainya.
Sedangkan legitimasi ketidaksetaraan dan superioritas laki-laki atas perempuan dalam hadis, di antaranya adalah: hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, larangan perempuan menjadi pemimpin, kekurangan akal dan agama perempuan, intervensi malaikat dalam hubungan seksual, perintah bersujud kepada suami sebagai bentuk ketaatan mutlak istri, larangan bagi istri bermuka masam, dan sebagainya.

Adapun isu-isu ketidaksetraan aki-laki dan perempuan dalam fiqih, misalnya dapat dilihat pada persoalan: thaharah (cara mencuci air kencing anak); shalat (azan dan iqamat, aurat, berjamaah, menjadi imam, cara mengingatkan imam, shalat jum’at; jenazah (kain kafan, shalat, mengubur); haji (syarat haji, pakaian ihram); nikah (persaksian, posisi dalam keluarga, memilih pasngan, hubungan seks, perwalian) dan sebagainya. Perbedaan konsepsi fiqih bagi laki-laki dan perempuan dalam bidang-bidang tersebut, seringkali dipahami dan diyakini sebagai bukti adanya superioritas laki-laki atas peremnpuan, padahal fiqih juga dikonsepsikan berdasarkan logika dan interpretasi para fuqaha yang tidak bisa dilepaskan dari konteksnya (setting historis, sosial, budaya, politik, ideologi, dan semua stock of knowledge-nya).

E. Rekonstruksi Pemahaman Gender dalam Islam: Keniscayaan Sejarah

1. Representasi, dekonstruksi dan keterkaitan pengetahuan dengan kekusaan
Melakukan rekonstruksi pemahaman gender dan konteks Islam tidak semudah membalik telapak tangan. Hal ini karena pemahaman terkait dengan persoalan ideology, yang telah dibangun sejak lama dan telah menjadi iman sosial. Namun demikian, hal tersebut bukan mustahil untuk dilakukan. Proyek besar berupa rekonstruksi pemahaman gender dalam Islam, yang dalam konteks ini misalnya dalam persoalan fiqih perempuan, dapat dilakukan dengan meminjam kerangka kerja sosiologi. Kerangka kerja dimaksud adalah representasi, dekonstruksi dan memahami keterkaitan pengetahuan dan kekuasaan.

Pertama, representasi merupakan langkah pertama untuk upaya rekonstruksi, yakni memahami dan memposisikan teks sebagai representasi. Ia merupakan segala sesuatu yang terkait dengan ide, gambaran image, narasi, visual dan produk-produk keilmuan yang dalam konteks ini misalnya adalah fiqih perempuan. Teks tentang fiqih perempuan merupakan representasi, sedangkan realitas sosial tentang perempuan muslim merupakan intertekstualitas dari kitab fiqih perempuan tersebut. Dengan kata lain, fiqih perempuan merupakan norma dan nilai yang dianut, sementara kehidupan para perempuan yang mengacu kepada fiqih perempuan tersebut merupakan intertekstualitas. Maksudnya bahwa kenyataan tentang realitas sosial kehidupan perempuan ini dibangun oleh keterkaitan teks-teks fiqih perempuan. Bagaimana perempuan harus memposisikan dirinya, bagaimana ia memperlakukan suaminya dan seterusnya dikonstruksi oleh teks-teks tersebut sebagai representasi ideologi, norma atau nilai yang dipilih dan diyakini oleh pihak pembuat teks itu sendiri. Dengan upaya representasi ini, kita dapat memahami bahwa kehidupan perempuan sejauh ini, merupakan akibat dari teks-teks yang dipilih, diyakini dan digunakan. Karena itu, upaya pertama dalam rangkaian rekonstruksi ini justru memungkinkan kita membuka diri untuk menerima teks-teks fiqih perempuan yang lain, sebagai representasi dari sistem ideologi yang lain, sehingga fiqih perempuan dan realitas perempuan yang dilahirkannyapun juga akan berbeda. Jika kita memilih fiqih perempuan yang ramah, maka akan melahirkan realitas sosial perempuan yang penuh keramahan dan kedamaian. Sebaliknya jika kita memilih fiqih yang cenderung "memasung" perempuan, maka akan lahir realitas sosial perempuan yang tidak kreatif.

Misalnya kita memilih kitab 'uqud al-Lujain fi huquq al-zawjain karya al-Nawawi yang berisi tentang hak dan kewajiban suami isteri namun lebih ditekankan pada porsi kewajiban istri yang demikian berat, maka praktik kehidupan suami-istri pada masyarakat kita merupakan cerminan dari representasi kitab tersebut. Kita sesungguhnya memiliki hak untuk memilih dan membangun representasi yang lain. Semua hal yang berkaitan dengan realitas perempuan adalah representasi dan setiap representasi adalah teks, maka jika ada suatu representasi dari kehidupan perempuan, maka yang perlu dinilai dan dikoreksi terlebih dahulu adalah teks yang dipakai oleh para perempuan tersebut.

Di samping kitab-kitab fiqih, tafsir maupun hadis, representasi sesungguhnya juga bisa berupa mitos, pameo, atau apapun juga yang disahkan atau mendapat legitimasi dari para pemegang otoritas. Pendek kata bahwa representasi adalah bersifat kultural dan dikonstruksi secara sosial (socially constructed). Karena itu, kritik terhadap teks berarti menjadikan teks yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka. Sebagai konsekuensinya, kita dapat menafikan bahkan menolak segala norma, ideologi, aturan dan sebagainya yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Dengan kata lain, dengan langkah ini, kita tidak bisa menerima bahwa kebenaran adalah tunggal, tetapi kebenaran itu terdapat dalam banyak realitas, kebenaran itu plural.

Kedua, upaya kedua dalam proyek rekonstruksi adalah dekonstruksi. Cara kedua ini sesungguhnya merpkn akibat lanjut atau langkah lanjutan dari proyek pertama. Dengan dekonstruksi kita mencoba melakukan penolakan terhadap teks yan dipaksakan. Misalnya bahwa perempuan itu harus begini dan begitu, kalau tidak maka akan berakibat begini dan begitu. Dalam konteks gender, misalnya dapat kita contohkan bahwa perempuan itu harus senantiasa berada di rumah, jika tidak di rumah maka ia akan menjadi fitnah, ia akan digoda, ia akan berbuat kemaksiatan, ia akan tidak bisa menjaga amanah suaminya dan sebagainya. Dengan proyek kedua ini, maka kita tidak lagi mengharuskan perempuan berada dalam satu keharusan tanpa ada pilihan, tetapi memberikan banyak kemungkinan yang bisa dipilih perempuan dalam kehidupannya. Karena itu pendekatannya tidak lagi harus begini harus begitu, tetapi jika begini maka akan …. dan jika begitu maka akan …. Dalam konteks inilah perempuan memiliki otoritas untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Ketiga, upaya berikutnya adalah memahami keterkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan. Bahwa setiap pengetahuan yang terdiri dari seperangkat barisan ide, pencitraan, narasi, visual dll merupakan kekuasaan. Tidak satupun pengetahuan yang bebas atau terlepas dari kekuasaan. Kekuasaan senantiasa terjalin berkelindan dengan pengetahuan, yang selalu bermuatan kepentingan. Ideologi patriarkhi yang dipilih oleh para penguasa sejak era kuno, yang kemudian membentuk sistem kehidupan yang jauh dari keadilan gender, adalah bukti kuatnya kekuasaan yang dibangun dengan pengetahuan, atau pengetahuan yang dibangun oleh kekuasaan.
Dalam konteks Islam, kita bisa menilik sejumlah khazanah keislaman semisal kepustakaan tafsir. Bagaimana ideologi yang dipilih penguasa direpresentasikan oleh corak kitab-kitab tersebut? Apakah karena mufassirnya mayoritas laki-laki? Dalam hal ini, keberpihakan para mufassir pada ideologi patriarkhi dapat dilihat ketika mereka misalnya menafsirkan QS. 4: 1 tentang penciptaan perempuan, QS4: 34 tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan, persoalan kewarisan dan kesaksian perempuan dan sebagainya.

Dapat dinyatakan dengan kata lain bahwa logika sejarah ditentukan oleh logika penguasa. Kemana dan bagaimana sejarah itu akan dibawa, tergantung pada kepentingan penguasa. Bagaimana ideologi mu'tazilah dipilih oleh al-Ma'mun di era Abbasiyah untuk melanggengkan kekuasaannya? Bagaimana ideologi Wahhabi dibawa oleh Abdul Wahhab dan didukung oleh Ibn Saud untuk melanggengkan kekuasannya? Bagaimana para orientalis yang dibawa serta oleh kaum kolonial ke negeri-negeri jajahannya untuk melanggengkan kekuasaannya? Bagaimana misalnya Kode Hammurabi dibuat dan bagaimana Kode Asiria dibentuk oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya? demikian seterusnya, betapa kekuasaan "mencengkeram" pengetahuan. .

2. Hermeneutika: Perlunya Negosiasi antara Teks, Pembaca dan Pengarang
Terdapat sejumlah pemikir muslim kontemporer yang menggunakan pendekatan hermeneutika, dengan menyepakati konsepsi “subyektifitas” dalam penafsiran al-Qur’an. Di antaranya adalah Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Esack, Hassan Hanafi, dan feminis semisal Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud-Muhsin.

Pendekatan ini menyerukan perlunya seorang interpreter menegosiasikan antara teks, pengarang dan pembaca dalam menggali makna nash, karena baik teks, pembaca maupun pengarang memiliki problem masing-masing. Teks adalah sekelompok entitas yang digunakan sebagai tanda yang dipilih, disusun dan dimaksudkan oleh pengarang dalam konteks tertentu, untuk mengantarkan beberapa makna tertentu kepada pembaca. Ia merupakan simbol yang terdiri dari huruf, kata maupun angka yang memiliki makna. Ia memiliki integritas sendiri yang tidak bisa dipaksa sesuai dengan kemauan pembaca (pemberi makna). Semakin keras upaya pembaca menggiring teks semakin kuat teks menentang pembaca. Jika teks diinterpretasikan melebihi batas yang rasional, teks mungkin tidak hanya akan menolak legitimasi interpretasi pembaca, tetapi juga akan menentang kemampuan pembaca dalam melakukan interpretasi .

Pembaca yang menggali makna dari sebuah nash harus mempertimbangkan kemauan teks. Di sinilah pentingnya bernegosiasi dengan teks. Sebagai contoh, nash mengatakan "Tidak ada paksaan dalam agama ". Berdasarkan teks ini berarti tidak ada paksaan agama. Tetapi mungkin pembaca akan memberikan pemaknaan : orang yang mau Islam tidak bisa dipaksa untuk mengakui Islam, atau tidak bisa dipaksa melakukan puasa, shalat dan memakai jilbab. Hanya saja, semakin meluas dan menyimpang pemaknaan-pemaknaan ini, semakin kuat teks menentang pembaca karena teks tidak memaksudkan untuk persoalan shalat, puasa, memakai jilbab, dan sebagainya. Dalam konteks ini, komunitas interpreter dianggap tidak mampu mengendalikan diri.
Dalam konteks hermeneutika Khaled, seorang pembaca yang tidak berhasil bernegosiasi dengan teks akan terseret ke dalam otoratarianisme (sikap otoriter). Apalagi kondisi seorang interpreter yang berusaha menangkap kehendak Tuhan selalu diliputi oleh beberapa hal yang menjadi problem pembaca yakni "asumsi dasar". Ada 4 jenis asumsi dasar yang selalu menjadi landasan untuk membangun analisis hukum, yaitu asumsi berbasis nilai, asumsi metodologis, asumsi berbasis iman, dan asumsi berbasis akal.

Asumsi berbasis nilai dibangun berdasarkan nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau mendasar oleh sebuah sistem hukum, seperti prinsip kebebasan berbicara dan pentingnya perlindungan hak milik. Dalam konsep Islam asumsi ini dapat disetarakan dengan konsep daruriyah. Adapun asumsi metodologis didasarkan pada pendekatan teoretis yang sistematis terhadap hukum. Terjadinya perbedaan pendapat antara berbagai madhhab hukum dapat dipandang sangat bersifat metodologis. Dalam praktiknya terjadi tumpang tindih antara asumsi berbasis nilai dengan asumsi metodologi. Sebagai contoh, konsep maslahah yang menyatakan "bahwa kepentingan umum dapat menyimpang dari nash", sulit dipetakan apakah hal itu persoalan nilai normatif atau metodologis .

Berbeda dengan dua asumsi di atas, asumsi berbasis akal adalah asumsi yang eksistensinya diperoleh dari logika atau bukti hukum dan bukan sebuah dinamika langsung antara seseorang dengan Tuhannya. Ia mempertimbangkan bukti rasional dan tidak mendasarkan kepada pengalaman etis, eksistensialis atau metafisik yang bersifat pribadi. Sementara itu, asumsi berbasis iman bersumber dari hubungan antara wakil dan Tuannya. Asumsi ini dibangun atas dasar pemahaman pokok tentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya, yang membentuk kesadaran dan keyakinan yang tidak bisa dibagi kepada orang lain.

Asumsi-asumsi di atas selalu melekat kepada setiap pembaca dalam menangkap kehendak Tuhan. Karena itu, untuk mengeliminasi munculnya sikap otoriter seorang ahli hukum Islam ketika memahami pesan Tuhan, diperlukan beberapa syarat, yaitu kejujuran (honesty), mampu mengendalikan diri (self restrain), komprehensif (comprehensive), rasional (reasonable) dan sungguh-sungguh (diligent). Bagi Khaled, jika seorang interpreter memiliki sikap-sikap di atas, otoritarianisme akan mampu dibendung. Dengan lima sikap itu pula, seorang pembaca akan dapat dengan sungguh-sungguh melakukan negosiasi dengan teks. Munculnya kesadaran pada salah seorang pembaca terhadap adanya perbedaan asumsi dasar yang mempengaruhi setiap pembaca, menurut Khaled, menjadikan seorang pembaca tidak lagi disebut otoriter.

Sementara itu, problem pemaknaan terhadap nash juga terdapat pada pengarang (author) sebagai pembuat teks. Menurut Khaled, selain al-Qur'an, proses kepengarangan selalu melibatkan pertimbangan sosial, politik dan teologi. Karenanya, proses kepengarangan bisa terdiri dari pengarang historis, pengarang produksi, pengarang revisi dan pengarang interpretasi.

Dalam kasus hadis misalnya, terdapat berbagai pengarang yang terlibat, mulai dari Nabi sebagai pengarang historis, perawi hadis (sahabat) sebagai pengarang produksi, ulama yang membukukan hadis --seperti al-Bukhari dan lain-lain- sebagai pengarang revisi, dan pensyarah hadis (semisal Ibn Hajar) sebagai pengarang interpretasi. Masing-masing pengarang pasti memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga -sangat mungkin- apa yang dikehendaki pengarang historis tidak sama dengan yang ditangkap pengarang interpretasi.

Jika seorang pembaca mampu menegosiasikan masing-masing komponen baik teks, pembaca dan pengarang, maka pembaca tersebut dapat dikatakan otoritatif, sekalipun tidak "kosong" dari subyektifitas. Karena, bagi Khaled kebenaran tidaklah bertumpu kepada hasil melainkan kepada upaya yang dilakukan, sebagaimana dipedomani oleh kelompok Mushawwibah . Dengan kata lain kebenaran bukanlah obyektif sama sekali tetapi subyektif yang bertanggung jawab (inter-subyektifitas).

Dibandingkan tawaran hermeneutika al-Qur’an Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd, meskipun terdapat beberapa kesamaan, hermeneutika Khaled sedikit banyak telah merubah peta perkembangan hermeneutika al-Qur’an kontemporer. Ia berangkat dari paradigma hukum Islam. Konstruksinya tentang hermeneutika tidak hanya aplikatif dalam penafsiran al-Qur’an, tetapi juga pada teks-teks Islam yang lain. Dengan kata lain, Khaled mencoba melakukan rancang bangun hermeneutika yang dapat menjadi prinsip-prinsip umum dalam menafsirkan teks-teks Islam (baik yang sakral maupun yang profan). Hal ini belum dilakukan oleh para pemikir Islam kontemporer, yang masih berkutat pada hermeneutika al-Qur’an.

Secara lebih rinci, beberapa kesamaan dan perbedaan hermeneutika Khaled dibandingkan pemikir Islam lainnya dapat dilihat pada beberapa hal pokok, di antaranya tentang konsep "prasangka" (prior text), dan "interpretasi dinamis" (lively interpretative). Khaled menerima konsep "pra-sangka", model berpikir yang meyakini bahwa setiap pembaca pasti telah memiliki konsep sebelumnya dalam memahami kehendak pengarang (Tuhan). Amina Wadud menyebutnya sebagai prior text (berupa persepsi, keadaan, dan latar belakang dari seseorang yang membuat interpretasi), yang kemudian menggiringnya pada subyektifitas setiap penafsiran, termasuk dalam proses penetapan hukum. Khaled menyebutnya sebagai "asumsi dasar" yang meliputi asumsi dasar berbasis nilai, berbasis metodologi, berbasis akal dan asumsi dasar berbasis iman. Selain penerimaannya terhadap pra-sangka, ia juga sangat memperhatikan konstruksi tradisi yang terus berkembang.

Bagi Khaled “makna” adalah hasil dinamika dan negosiasi penerima awal dengan teks dan pengarang, “signifikansi” adalah makna tambahan dalam konteks kekinian yang merupakan hasil dari negosiasi pembaca sekarang, teks dan pengarang, ditambah dengan pemahamannya terhadap “makna”-awal. Dalam proses negosiasi ini tidak ada yang obyektif, namun, selalu subyektif.

Di samping itu, konsep interpretasi dinamis (lively interpretative) yang ditawarkan oleh Khaled, juga memiliki kesamaan dengan hermeneutika double movement-nya Fazlur Rahman. Menurut Rahman hermeneutika adalah: “Proses penafsiran yang terdiri dari gerakan ganda, dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini. Langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respons terhadap situasi-situasi khusus. Langkah kedua adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat “disaring” dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis. Gerakan yang pertama terjadi dari hal-hal spesifik dalam al-Qur’an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang konkrit di masa sekarang.”

Dalam interpretasi dinamis Khaled, seorang mufassir tidak hanya memahami makna asal ketika teks itu berdialog dengan penerima awalnya, tetapi juga mencoba dengan makna asal tersebut menggali makna teks dalam konteks kekinian.” Ini artinya juga ada dua proses yang harus ditempuh oleh seorang mufassir, yakni mengenali makna asal teks dan kemudian dijadikan dasar referensi untuk memaknai teks dalam konteks kekinian, dan untuk mengenali makna asal teks “pembacaan yang bersifat historis mutlak diperlukan.”

Dengan demikian, jika Rahman telah menentukan sesuatu yang menjadi “prinsip-prinsip umum” dan sesuatu yang “spesifik” dalam proses penafsiran, maka Khaled tidak melakukannya. Bagi Rahman seorang penafsir dapat memahami “latar belakang sosio-historis” secara obyektif dan seorang penafsir mampu memahami “makna al-Qur’an” pada “masa al-Qur’an diturunkan” juga secara obyektif.

Bagi Khaled, seorang penafsir tidak bisa memahami “makna” awal al-Qur’an dengan obyektif, pasti akan selalu subyektif dan ketika seseorang mencoba memahami situasi historis tertentu, maka hasilnya akan tetap subyektif. Karena seorang penafsir selalu mempunyai basis epistemologi dan pra-anggapan yang dikonstruksi oleh sebuah tradisi di mana penafsir itu hidup, dan tradisi tersebut terus berkembang. Dalam konteks inilah hermeneutika Khaled merujuk kepada Gadamer.

Dalam konteks perbedaan asumsi sebagai problem dan stock of knowledge interpreter ini, misalnya dapat dicontohkan tentang harga kesaksian perempuan separoh harga kesaksian laki-laki dalam persoalan hutang piutang (QS. ). Ada dua kelompok ( A dan B) yang memahami teks tersebut secara berbeda. Kelompok A memahami bahwa harga kesaksian perempuan separoh harga kesaksian laki-laki sebagaimana teks tersebut, menjadi bukti bahwa memang perempuan diciptakan Tuhan berbeda dengan laki-laki. Kelompok B menyatakan bahwa tidak mungkin Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan berbeda karena itu berarti Tuhan tidak adil. Dalam konteks ini berarti ada perbedaan asumsi iman. Selanjutnya kelompok A memahami bahwa harga kesaksian perempuan separoh harga kesaksian laki-laki, baik dalam persoalan hutang piutang maupun dalam persoalan lain. Sementara kelompok B memandang bahwa harga kesaksian perempuan tersebut spesifik hanya dalam persoalan tersebut, dan dengan demikian tidak bisa ditarik pada persoalan lain. Dalam konteks ini berarti ada perbedaan asumsi metodologis.

Kita juga dapat mengambil contoh lain tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan (QS.4: 34). Kelompok A menyatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu merupakan bukti bahwa Tuhan memposisikan laki-laki dan perempuan berbeda. Kelompok B menolak anggapan tersebut dengan menyatakan bahwa tidak mungkin Tuhan memposisikan laki-laki dan perempuan tidak setara karena itu berarti Tuhan tidak adil. Dalam konteks ini ada asumsi iman yang berbeda. Selanjutnya kelompok A menyatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam QS. 4: 34 itu tidak hanya berlaku bagi kepemimpinan dalam ranah domestik tetapi dalam semua bentuk kepemimpinan, baik dalam ranah domestik maupun publik, karena perempuan memiliki banyak kelemahan. Kelompok B menolak pemahaman kelompok A yang menarik persoalan kepemimpinan rumah tangga kepada persoaln lain. Alasannya adalah bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan di rumah tangga itu ada syaratnya yakni sejauh laki-laki tersebut memiliki kelebihan dan sejauh ia mampu memberikan nafkah kepada keluarganya. Jika tidak memenuhi dua syarat tersebut maka ia tidak berhak menjadi pemimpin keluarganya. Alasan kedua dalah bahwa ayat tersebut mencerminkan bahwa dalam konteks turunnya ayat, bahwa secara umum perempuan tidak mengakses dunia publik sehingga kecakapannya tidak sama dengan laki-laki. Karena itu, ketika konteksnya berbeda, bisasaja kepempimpinan itu tidak hanya di tangan laki-laki, tetapi berpindah ke tangan perempuan. Dalam kasus kedua ini, berarti ada perbedaan asumsi nilai.

Karena itu, yang paling penting adalah bagaimana seorang penafsir itu bersikap tidak otoriter tetapi otoritatif, yakni dengan cara menghargai adanya perbedaan pemahaman antara satu penafsir dengan penafsir lainnya, yang bisasaja karena adanya perbedaan asumsi iman, asumi akal, asumsi nilai dan asumsi metodologis tersebut. Yang diperlukan oleh sorang penafsir/pembaca agar tidak terjebak pada sifat otoriter (otoritarianisme) adalah adanya kejujuran, mampu mengendalikan diri, komprehensif, rasional dan sungguh-sungguh sebagai etika yang harus dimiliki oleh para interpreter.
Wa Allah a'lam bi al-shawab

Comments :

0 komentar to “DISKURSUS GENDER PERSPEKTIF ISLAM: Upaya Rekonstruksi Metodologis”